Wisata Tanah Lot di Bali (Foto: Muti/Balimemo.com)
Balimemo.com - Tak hanya sistem pemerintah tradisional Bali yang menarik diulas. Sistem ekonomi dan budayanya juga tak kalah unik. Pada akhir abad ke-19, masyarakat di Bali masih menggunakan tatanan tradisional, karena belum terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing.
Dikutip dari buku `Sejarah Daerah Bali` terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1981, corak masyarakat tradisional Bali digolongkan menjadi dua tipe, yakni masyarakat agraris dan masyarakat pantai.
Masyarakat agraris ialah mereka yang menggantungkan diri pada bidang pertanian. Sebagai masyarakat agraris, mereka memiliki sistem kemasyarakatan, organisasi, dan tata kehidupan yang berbeda dari masyarakat pantai.
Hal yang paling mencolok ialah sistem irigasi Subak, yang terkenal hingga saat ini. Organisasi subak ini memiliki tanggung jawab terhadap perairan sawah, mulai dari membuat bendungan, membagi air melalui parit, hingga menjaga ketersediaan air.
Sementara itu, masyarakat pantai ialah sebutan bagi penduduk yang tinggal di pesisir dan menggantukan perekonomiannya dari hasil laut, baik sebagai nelayan maupun pedagang di laut. Kehidupan masyarakat pantai cenderung lebih terbuka dengan kebudayaan dari luar, sehingga sistem komunitasnya lebih dinamis daripada masyarakat agraris.
Secara umum, sejak awal abad ke-19, Bali mengandalkan perdagangan dari dan ke luar Bali. Dari Bali, kapal-kapal membawa muatan beras, gula, asam, minyak kelapa, babi, pinang, kayu, garam untuk diangkut ke Batavia (Jakarta).
Sebaliknya, dari Batavia, kapal-kapal masuk ke Bali membawa barang-barang pecah-belah, porselen, kain, besi tua, obat-obatan, ikan asin, menyan, dan ketumbar. Di samping hasil bumi tersebut, Bali juga masih memiliki aktivitas perdagangan budak, yang baru berakhir pada awal abad ke-20.
Awalnya, pusat perdagangan Bali berfokus di Bali selatan. Namun, pasca tahun 1849, perdagangan di Bali selatan mengalami kemunduran, sehingga akhirnya berpindah ke Buleleng. Pasalnya, secara geografis Bali utara lebih memungkinkan menjadi pusat perdagangan karena memiliki tiga pelabuhan, yakni Tumukus, Buleleng, dan Sangsit.
Adapun terkait kepercayaan, berabad-abad sebelumnya masyarakat tradisional Bali kental dengan kepercayaan animisme yang disebut agama Tirta (agama air). Kepercayaan ini sudah berkembang sejak masa Warmadewa, jauh sebelum Majapahit datang ke Pulau Bali.
Sementara pada abad ke-19, kepercayaan masyarakat mayoritas ialah agama Hindu. Dan segala aktivitas kemasyarakatan, selalu dikaitkan kepada agama, yang melahirkan kebudayaan dan praktik keagamaan tertentu.
Salah satu contohnya, masyarakat agraris mengenal ilmu perbandingan (wariga), yang digunakan untuk mengetahui waktu yang tepat mengolah tanah, menanam padi, dan berbagai hal terkait pertanian, yang disertai dengan upacara keagamaan. Upacara keagamaan ini pula dilakukan ketika desa mengalami serangan wabah tertentu, yakni dengan menggelar upacara pembersihan yang dikenal dengan istilah mecaru. Upacara khusus juga digelar apabila muncul serangan hama.
Berbeda lagi dengan masyarakat pantai. Mereka meyakini bahwa laut merupakan anugerah Dewa Baruna, yang kemudian memunculkan Hukum Tawan Karang. Berlandaskan hukum tersebut, masyarakat pantai memercayai bahwa kapal atau perahu yang terdampar di daerah kerajaan, boleh dirampas menjadi hak milik kerajaan atau milik rampasan rakyat pantai. Hukum inilah yang belakangan diintervensi oleh Belanda.
TAGS : Sejarah Bali Pulau Dewata Zaman Kerajaan