Sabtu, 23/11/2024 06:55 WIB

Sejarah Bali: Geliat Politik sebelum Sumpah Pemuda 1928

Di saat awal tahun 1900 pemerintah kolonial sudah mulai menjalankan politik etika di Pulau Jawa, Bali justru jauh berbeda.

Pura di Bali (Foto: Ist)

Balimemo.com - Pemerintah Hindia Belanda masih kuat pengaruhnya di Indonesia pada awal abad ke-20. Sayangnya, hal ini tidak terasa di Bali. Di saat awal tahun 1900 pemerintah kolonial sudah mulai menjalankan politik etika di Pulau Jawa, Bali justru jauh berbeda.

Dikutip dari buku `Sejarah Daerah Bali` terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1981, antara 1846 hingga 1908, di Bali masih berlangsung peperangan menentang penjajahan Belanda.

Perang yang terkenal hingga saat ini ialah Perang Buleleng, Perang Jagaraga, Perang Banjar, Puputan Badung, dan Puputan Klungkung. Sehingga, sampai awal tahun 1900, Belanda tak kunjung berhasil menguasai Bali secara keseluruhan.

Intervensi Belanda di Pulau Bali baru terlihat pasca Kerajaan Buleleng ditaklukkan, lalu menjadikan Singaraja sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Bali dan Lombok. Sejak itulah Belanda menanamkan pola pikir Barat melalui pendidikan, meski hal ini tak sepenuhnya berhasil.

Pada 1875, pemerintah Hindia Belanda membuka Tweede Inlandsche School (Sekolah Rendah) di Kota Singaraja. Sayangnya, sekolah ini mulanya tidak mendapatkan sambutan baik dari masyarakat, dan sedikit sekali murid yang mau mendaftar.

Penyebabnya, kebudayaan Hindu masih mendominasi masyarakat Bali. Nilai-nilai budaya Bali, seperti nilai-nilai kesopanan, pergaulan hidup, agama, dan kesenian masih menghiasi kehidupan masyarakat. Sastra Ramayana dan Baratayudha juga masih menjadi landasan berpikir.

Adapun sistem pendidikan tradisional yang bersumber pada kesusastraan dan agama Hindu hanya dinikmati oleh golongan kasta atas, yakni Brahmana dan Ksatria. Efeknya pendidikan ala Barat yang ditawarkan Belanda hanya menarik minat masyarakat kasta Sudra atau Jaba.

Pada 1920, sistem pendidikan Barat di Bali perlahan-lahan mulai tumbuh, bersamaan dengan munculnya gagasan pembaharuan di dalam masyarakat, antara lain keinginan adanya persamaan hak antar kasta.

Hal ini pula yang menyebabkan lahirnya konflik sosial di masyarakat, karena masyarakat Jaba menuntut kasta Brahmana, Ksatria, dan Waisya (Triwangsa) harus saling menghormati dan menghargai dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Berawal dari kesadaran menempuh pendidikan tersebutlah, lalu muncul berbagai organisasi yang menjadi embrio kebangkitan nasional, jauh-jauh hari sebelum tercetus Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Antara lain, perkumpulan Suita Gama Tirta yang beranggotakan seluruh lapisan masyarakat Bali dari empat kasta. Organisasi ini bertujuan memuliakan agama serta ingin mengadakan pembaharuan dalam bidang adat dan agama.

Memuliakan agama yang dimaksud ialah memberikan pendidikan agama bagi para pemuda yang menaruh minat pada pengetahuan agama, bukan lagi terbatas pada dua kasta teratas. Sebab, eksklusivitas tersebut dipandang hanya akan menghambat kemajuan.

Semangat yang hampir sama juga melandasi terbentuknya perkumpulan Surya Kanta, yang didirikan oleh Ketut Sandi, Nengah Merta, dan Ketut Nasa pada 1 November 1925. Para guru lulusan sekolah di Jawa, berkeinginan untuk memajukan pendidikan rakyat Bali yang masih terbelakang, terutama golongan Jaba.

Selain masalah pendidikan, perkumpulan Surya Kanta juga bergerak dalam perbaikan sosial dan ekonomi, yakni dengan mendorong penghematan dan penyederhanaan upacara-upacara adat, dan menentang pemborosan yang menyebabkan kemelaratan. Juga, membentuk koperasi setiap banjar untuk memajukan perekonomian masyarakat.

TAGS : Sejarah Bali Pulau Dewata Zaman Kemerdekaan Sumpah Pemuda




TERPOPULER :